PT KAI Daop 9 Jember Tertibkan 6 Rumah Aset Negara di Jalan Mawar

Petugas PT KAI Daop 9 Jember mengangkut perabotan milik penghuni rumah aset negara di Jalan Mawar. (Foto: Dokumentasi PT KAI Daop 9 Jember)
Petugas PT KAI Daop 9 Jember mengangkut perabotan milik penghuni rumah aset negara di Jalan Mawar. (Foto: Dokumentasi PT KAI Daop 9 Jember)

JEMBER – PT KAI Daop 9 Jember melakukan penertiban 6 rumah aset negara di Jalan Mawar, Kelurahan Jemberlor, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Penertiban tersebut berlangsung pada Jumat (19/7/2024), dengan melibatkan unsur TNI, Polri, Satpol PP, Dinas Perhubungan, dan stakeholder terkait.

Dari keenam rumah yang ditertibkan, 2 rumah berada di Gang Mawar XIII, dan 4 sisanya berada di Gang Mawar XV.

Dari pantauan media ini, terlihat para petugas mengosongkan 6 rumah ini dengan mengangkut barang-barang milik penghuni rumah ke Gudang Olahraga PT KAI.

Barang-barang tersebut nantinya akan diserahkan kembali kepada pemiliknya setelah mereka menemukan tempat tinggal lain.

Fice President PT KAI Daop 9 Jember, Hengky Prasetyo, mengatakan penertiban ini merupakan komitmen PT KAI Daop 9 Jember dalam menyelamatkan aset negara.

Meski demikian, PT KAI tidak semerta-merta langsung melakukan penertiban, namun telah melalui berbagai tahapan sejak 2 tahun lalu, termasuk jalur hukum.

“Hari ini adalah puncaknya,” ucap Hengky di sela-sela kegiatan penertiban 6 rumah aset negara.

Alasan PT KAI Daop 9 Jember menertibkan 6 rumah ini karena penghuninya enggan melakukan sewa, bahkan tidak mau mengakui rumah tersebut sebagai aset negara.

Berbeda dengan ratusan penghuni lainnya yang mengakui bahwa rumah itu aset negara dan rutin membayar sewa Rp500 ribu setiap bulannya.

Setelah penertiban ini, 6 rumah tersebut sementara dibiarkan kosong namun tetap dalam pengawasan PT KAI Daop 9 Jember.

“Tinggal melihat kondisi untuk disewakan lagi atau tidak. Tunggu ada peminat atau tidak,” ujar Hengky.

Diketahui, terdapat sejarah panjang terkait rumah aset negara yang ada di Jalan Mawar, termasuk 6 rumah yang saat ini ditertibkan.

Sejak dahulu, rumah tersebut memang berstatus sewa dan ditempati oleh para pensiunan pegawai perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) yang sekarang bertransformasi menjadi PT Kereta Api (Persero).

Setelah para pensiunan pegawai PJKA meninggal, rumah aset negara itu terus ditempati oleh anak, cucu, menantu, atau kerabat tanpa perikatan kontrak dengan PT KAI.

Seiring berjalannya waktu, beberapa justru mengklaim kepemilikan rumah itu dan tidak mau mengakui bahwa rumah tersebut merupakan aset negara yang dikelola PT KAI.

Klaim kepemilikan tersebut berbuntut pada penolakan keras dalam proses penertiban ini hingga berujung pada cekcok adu mulut antara penghuni rumah dengan petugas.

Adalah Reta Catur Pristiwantono, salah seorang penghuni dari 6 rumah ini yang mempertahankan harta bendanya agar tidak dikeluarkan oleh petugas.

Dengan didukung beberapa penghuni lainnya, Reta dengan keras melakukan penolakan dengan dalih memiliki hak atas rumah tersebut, ditambah lagi petugas tidak menunjukkan surat tugas saat mencoba menerobos masuk ke dalam rumah itu.

“Kita minta dari awal (surat tugas – red) tidak dikasih, tapi ketika di tengah proses (penertiban rumah – red) tiba-tiba baru ditunjukkan,” ucap Reta.

Dia mengklaim, petugas seharusnya menyertakan surat tugas dari kejaksaan maupun pengadilan negeri dalam melakukan penerbiban ini.

“Memang KAI punya SHGB, tapi cacat prosedur. Intinya, dasar penertiban ini tidak ada. Apa yang dilakukan (penertiban – red) ini tidak benar,” ujar Reta.

Kemudian terkait aturan sewa, Reta menganggap itu dibuat secara tiba-tiba sehingga Dia bersama beberapa warga lain menolaknya.

Bahkan lebih jauh, melalui bantuan media, Reta meminta Presiden Jokowi hingga ATR/BPN untuk mengkaji kembali aturan ini, sebab dinilai cacat prosedur.

Reta juga menuding pihak KAI mencuri PBB masyarakat untuk mendapatkan SHGB, karena dalam SK Kanwil pada 14 Januari 2020 dikatakan apabila PT KAI ingin melanjutkan lewat SHGB, maka harus melengkapi beberapa persyaratan.

“Tanah dan bangunan harus jelas, bukan sengketa. PBB 178 orang itu harus dijadikan satu induk. Apabila tidak memenuhi syarat, maka batal dengan sendirinya,” pungkas Reta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *