Pagi yang cerah. Semilir angin membelai lembut dedaunan. Bunga mawar yang tadinya masih kuncup kini mulai mekar disapa sang Mentari. Butiran embun diujung ilalang berlahan mulai menghilang. Sedangkan burung pipit yang kelaparan mulai bertandang ke hamparan padi yang menguning.
Aku masih betah dalam selimut rindu. Kelopak mataku terlalu berat untuk dibuka. Maklum, semalam suntuk aku begadang hingga kokok ayam ramai bersahutan menjelang fajar.
Hari ini aku ingin berbicara denganmu, Bunga. Ya, hanya dengan seorang Bunga yang saat ini selalu menjadi inspirasi bagi sang Pujangga untuk menjadi pelayan kata-kata.
Kau tahu apa yang aku lakukan sepanjang malam itu, Bunga?
Sebenarnya bukan apa-apa. Tapi entah kenapa mataku masih berat untuk dibuka. Lalu sama-samar aku tiba-tiba terperangkap dalam sebuah pameran senyum palsu. Pameran yang diikuti oleh ribuan jawara di negeri Zamrud Katulistiwa.
Aku pun menyaksikan pameran senyum palsu itu, Bunga. Senyumnya bagus-bagus. Ya, namanya juga senyum palsu. Kamu pun mungkin seketika bakal langsung jatuh hati melihat senyum palsu yang di pamerkan mereka. Atau jangan-jangan kau juga punya senyum palsu itu?
Haha…
Sudah, tak perlu dijawab.
Tapi aku sedikit heran, Bunga. diantara ribuan senyum palsu itu, ada salah satu senyum yang membuatku ragu untuk mengakui bahwa itu benar-benar senyum palsu.
Aneh, aku malah tidak melihat adanya kepalsuan di raut mukanya yang anggun itu. Pipinya yang merah delima seakan memberi isyarat bahwa senyum merekah yang mengembang di bibirnya itu bukanlah senyum palsu. Bukan pula dibuat-buat.
Tapi mengapa senyum itu ada di pameran senyum palsu, ya?
Aku penasaran sekali, Bunga. Selepas mengumbar senyum, pemilik senyum itu membalikkan badan lalu meninggalkan panggung pameran. Ia terus berjalan dan sama sekali tidak menoleh ke belakang.
Diam-diam aku membuntutinya, Bunga. Ia masih terus berjalan tanpa ada rasa curiga bahwa dibelakangnya ada seekor Rajawali yang sedang menguntitnya. Setibanya di persimpangan jalan, ia bertolak ke selatan.
Ia terus berjalan dengan berlahan. Gelang emas yang melingkar di lengan kirinya mengeluarkan bunyi gemericik seirama dengan langkah kakinya.
Sesaat kemudian ia sampai di sebuah Goa. Ia memasuki Goa itu. Aku masih mengintipnya dari kejauhan. Begitu ia memasuki Goa, aku mulai mendekatinya hingga tiba pula di bibir Goa.
Astaga, Goa yang nampak kumuh dan menyeramkan jika dipandang dari kejauhan itu ternyata menyimpan estetika yang apik dengan dinding berlapis emas didalamnya. Lantainya juga nampak cantik dengan hamparan permadani. Dan Lentera warna putih salju yang menempel di dinding menambah keelokannya.
Aku terperangah. Goa apa ini? Terus terang aku belum pernah melihat Goa seindah ini sebelumnya. Bahkan istana Raja yang megah sekali pun tak ada apa-apanya jika dibanding dengan keanggunannya.
Rupanya disitulah pemilik senyum itu bertandang. Aku masih mengamati dari kejauhan. Ukiran tinta emas di langit-langit Goa masih terus membuatku berdecak kagum.
Tiba-tiba saja terdengar suara lirih menggema di celah-celah dinding “Masuklah wahai pengelana hati. Kedatanganmu memang ditunggu-tunggu selama ini”.
Aku menuruti kata-katanya, Bunga. Pelan-pelan aku mulai masuk ke dalam.
“Duduklah diatas singgasana itu. Lalu palingkan wajahmu ke sebuah lukisan berselimut kain merah tua yang terpajang di dinding sebelah kananmu” pintanya.
Aku menurutinya. Lalu sayup-sayup deru angin mulai menyingkap kain merah itu. Berlahan ikatannya terlepas hingga membuatnya jatuh tergeletak di lantai.
Oh my god, lagi-lagi aku dibuat terperangah. Ternyata lukisan dengan bingkai yang berhias mutiara itu adalah gambar kita berdua sewaktu menjalin asmara di Danau Merpati 12 tahun silam.
Sekatika ingatanku kembali membuka sepenggal kisah tentang kita di masa lalu. Masih terngiang di telingaku bagaimana janji suci yang dulu pernah kau ucapkan dibawah sang Mentari.
Engkau yang dengan lantang berkata akan setia sehidup semati bersamaku. Berdua merajut cinta di lereng Gunung Sinai.
Duh, belum puas aku mengenang masa-masa itu, tiba-tiba kicau burung Jalak yang bertengger diatas Pohon Cemara menyadarkanku bahwa pagi mulai bergegas pergi. Seketika pula aku terbangun dari mimpi.
Ngomong-ngomong, kau masih ingatkah dengan janji itu, Bunga?
Buah karya: Zainul Hasan R
Genre: Cerpen
Volume: Part I