12 April 2023 hari ini, mungkin sama dengan 12 April 2013 lalu. Bedanya, saat itu aku masih bisa menggenggam erat tangamu, Bunga. Sedangkan sekarang, aku hanya bisa memeluk erat kenangan dan mengecup bayang-bayang.
Kau pikir aku ingin mengulang kembali masa lalu, huh?
Tidak, Bunga. Sama sekali tidak. Mana mungkin aku mau kembali ke masa-masa konyol itu. Hidupku yang sekarang ini jauh lebih baik daripada waktu aku masih bersamamu.
Ets, jangan tersinggung dulu, bukannya aku mau sombong. Tapi memang kenyataannya begitu, kok. Buktinya, untuk mengajakmu makan siang saja, dulu aku masih merengek minta uang ke orang tua. Apa gak pecundang banget, tuh?
Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda, Bunga. Aku sudah menjadi Singa jantan yang berjalan seolah-olah akulah Rajanya. Tentu saja itu jauh berbeda denganmu yang kapan hari bermetamorfosis menjadi Merak betina yang anggun dan dicintai banyak orang.
Sebagai Singa yang garang, aku cukup disegani di ladang perburuan. Saat aku berkeliaran di jantung kota saja, Domba dan Banteng piaraan Raja pun akan lari terbirit-birit mendengar aumanku.
Kalau hanya untuk makan siang bersamamu, tak perlu repot-repot. Burung Pipit yang menari-nari di Bukit Songgon itu selalu siap melayani kita dengan menyuguhkan berbagai hidangan. Gratisss.
Bunga yang selalu dirundung lara. Mengapa dulu kau petik buah Apel di kebun Kupu-kupu itu? Kau tahu apa yang terjadi setelah kau memakannya?
Buah Apel itu menjelma Arak dan membuatmu gila. Ya, aku tidak salah berucap. Sejak kau menyantapnya, warnamu berlahan berubah kusam. Pita suaramu yang lembut gemulai berubah serak-serak kasar. Gelas Anggur saja mungkin bisa pecah dihantam gelombang suaramu, apalagi kupingku.
Itulah sebabnya mengapa aku meninggalkanmu seorang diri di kebun Kupu-kupu itu. Mungkin sejak itu pula aku tak lagi mengajakmu bertandang ke sarang Lebah yang selalu menghadiahkan madu.
Tapi, ya, sudahlah. Tak perlu mengungkit kesalahan di masa lalu, Bunga. Bukankah tak ada setitik ruang pun di jagat raya ini yang tak berdebu, kan?
Eh, sebentar dulu. Kalau tidak salah, waktu kita berada di kebun Kupu-kupu itu, aku pernah memetik setangkai Mawar, ya?
Iya, aku ingat. Tadinya setangkai Mawar itu ingin aku selipkan di telinga kirimu. Persis seperti yang ada di film-film Korea yang lebay nya super kebangetan itu.
Jadi ceritanya, setelah aku menyelipkan Mawar itu di telingamu, kita akan saling memandang, seakan berjanji pada diri sendiri bahwa kebahagiaan ini tidak akan pernah terganti.
Tapi sayangnya ini bukan film, Bunga. Ini kehidupan nyata. Ya, apapun bisa terjadi dalam perjalanan hidup ini. Tentu alur ceritanya di luar kehendak kita. Buktinya, kita terpisah, kan?
Begitulah, Bunga. Beruntung kita masih di takdirkan bernafas hingga saat ini dan bisa bertegur sapa dengan segala cara. Meskipun kamu masih suka manja-manja gitu, tak apalah. Toh, kita sudah tak punya rasa apa-apa lagi, kan.
Maaf, Bunga. Hari ini aku tidak bisa berlama-lama menyapamu. Aku harus pamit lebih awal. Sebagai pekerja publik, hari ini aku mendapat tugas penting yang harus segera diselesaikan. Sampai jumpa di lain waktu, Bunga.
Eh, gomong-ngomong soal setangkai Mawar itu, sampai saat ini ia masih segar. Sama seperti waktu aku memetiknya di taman Kupu-kupu 12 tahun silam.
Tapi beberapa hari yang lalu, setangkai Mawar itu telah aku berikan kepada seseorang sebagai penyemangat hidupnya. Aku menitipkannya pada Nayla.
Kau ingat Nayla, kan?
Buah karya: Zainul Hasan R
Genre: Cerpen
Volume: Part III
Baca juga:
Part I: Pameran Senyum Palsu
Part II: Sepotong Roti Diatas Telaga Rindu