Sudah dua hari ini pikiranku gelisah gara-gara Box Paket misterius yang berisi surat ucapan untuk Rita itu. Belum lagi setangkai Mawar yang sengaja diletakkan oleh orang yang gak jelas diatas meja di teras rumahku ini masih saja terlihat segar, seakan menolak hukum alam untuk mengering.
Parahnya ucapan dari Bupati untuk Rita yang tadinya hanya terpampang di pinggir Jalan Pertigaan Kelok Tiga, kini malah semakin banyak menyeruak ke seantero kota. Ada yang terpajang di tiang listrik, tertulis di koran harian, jadi topik utama di majalah-majalah, tersiar di Radio dan Televisi, jadi inspirasi di Mading sekolah hingga terpajang rapi di tengah-tengah Alun-alun Kota.
Aku masih tak habis pikir, bagaimana bisa dunia yang bising ini seketika dibutakan oleh satu nama yang entah darimana asalnya. Padahal aku sendiri, jangankan kenal, melihat batang hidungnya saja aku tak pernah.
Yang lebih menjengkelkan lagi, bagaimana bisa hanya aku yang menjadi sasaran salah alamat itu? Apa jangan-jangan Rita itu kembaranku? Atau jangan-jangan aku ini hanya tokoh rekaan yang sengaja diciptakan oleh sang penulis untuk dijadikan pelampiasan dan hidup menderita didalam dongeng?
Ah, persetan dengan semua itu. Toh, kalau pun aku ini benar-benar tokoh rekaan yang hanya ada dalam bayang-bayang penulis, aku gak peduli. Justru itu bagus. Karena aku yakin dengan kegabutan sang penulis yang sudah tingkat tinggi ini, ia pasti bakal menuangkannya dalam sebuah cerita. Nah, dengan begitu, aku bisa hidup hingga seribu tahun lagi.
Pink…
HP ku berdenting. Ada panggilan masuk. Aku yang dari tadi merenung di Gazebo depan rumahku, bergegas ke kamar untuk mengangkat panggilan masuk itu.
Setibanya di kamar, aku meraih HP ku. Panggilan masuk dari Sofia, teman lamaku. Sudah tujuh lebaran ia merantau ke Jakarta bersama suaminya dan belum pernah pulang kampung sampai sekarang ini.
“Halo, Nayla. Lima menit lagi jangan lupa nyalakan TV, ya. Ada info penting. Hari ini Rita mau menyampaikan pesan dari langit ketujuh. Jangan lupa, ya” ucapnya dari sebrang. Belum sempat aku bicara, ia sudah memutus sambungan seluler.
“Dasar teman koplak. Setidaknya beri aku kesempatan gitu untuk bertanya Rita itu siapa, malah main putus telepon gitu aja, huh” ujarku dengan kesal.
Pink…
HP ku kembali berdenting. Kali ini satu pesan masuk. Ini dari Laurel, teman kuliahku yang dari Kalimantan. Aku buka pesannya.
Nayla, dua menit lagi nyalakan TV, ya. Ada pembacaan pesan dari langit. Yang bacakan si Rita. Kamu harus nonton. Ini penting.
What? Bela-belain dari Kalimantan chat aku hanya untuk ngabarin hal yang gak penting ini? Oh My God, sepenting apa, sih, pesan dari langit yang mau dibacakan si Rita itu?
Aku gak mau nonton. Serius, aku gak peduli. Mau pesan dari langit, kek, mau pesan Malaikat Jibril sekalian, aku gak peduli. Aku gak bakal nonton. Lagipula di rumahku kan gak ada TV, hehe…
Aku abaikan saja chat itu. saat ini aku hanya ingin pergi ke suatu tempat yang sunyi dan sejuk, dan gak ada orang yang menyebut-nyebut namanya dia di sana. Aku menuju motor kesayanganku di Garasi lalu pelan-pelan melaju mengikuti arah pikiranku.
Sesaat kemudian aku tida di Jembatan Kalong tepat diatas Sungai Lima Bidadari. Dari kejauhan, aku melihat ratusan orang berkerumun. Mereka mengelilingi layar tancap yang diletakkan tepat ditengah-tengah lapangan Basket.
Sesaat kemudian, layar itu menampilkan lagu opening ‘Pesan dari Langit’. Ratusan orang yang mengelilinginya seketika bersorak sorai, seakan ada ilham yang sebentar lagi bakal menyejukkan sanubari mereka.
“Semuanya diharap tenang. Pesan dari langit akan segera dibacakan,” ucap MC.
Aku pun terdiam dan terpaku. Layar itu mulai menampilkan sesosok perempuan berkerudung hitam dan bersanding Karema Nikon di bahu kirinya.
Tiba-tiba aku merasa penasaran. Setelah memarkir motorku, aku pun berlahan mendekati mereka. Belum sampai ke depan layar, suara merdu dan renyah mulai melantunkan bait-bait kata,
Akan ku selesaikan dulu kuliahku
Akan ku perjuangkan gelarku
Bukan hanya sarjana yang aku kejar
Tetapi ada harapan orang tua yang dititipkan di bahuku
Ada derajat keluargaku yang harus aku angkat
Dan ada remehan yang harus aku bungkam
Karena menjadi anak harapan keluarga itu besar tenggungjawabku
Singkat dan padat. Ratusan orang mendengarkan pesan dari langit itu dengan penuh penghayatan. Tak sedikit diantara mereka yang sampai meneteskan air mata karena terharu dengan keindahan kata-katanya.
“Aku gak sanggup mendengarnya. Pesan dari langit itu sungguh menyentuh hati. Maknanya sangat dalam” ucap pemuda berkumis sambil menyeka air matanya.
Oh My God, sandiwara macam apa lagi ini? Heran, deh. Tapi harus ku akui, pesan dari langit yang diracik dengan kata-kata indah itu, mampu membuat orang berdecak kagum. Apalagi yang mendengarkan adalah pujangga yang masih belum menemukan jati dirinya.
Dari kejauhan aku berteriak lantang kepada mereka, “Woyyy… Dengarkan aku. Itu bukan pesan dari langit. Itu hanya Story WhatsApp si Rita saja. Duh, kalian ini apa-apaan, sih. Masak SW kayak gitu dibilang pesan dari langit. Ampun, dah.”
Wadidaw, seketika mereka semua menoleh ke arahku sambil melongo.
Buah karya: Zainul Hasan R
Genre: Cerpen
Volume: Part II
Baca juga:
Part I, Setangkai Mawar untuk Rita