News  

Forum Jamsos Tolak KRIS Satu Kelas, Khawatir Kurangi Kualitas Layanan JKN

Koordinator Jamsos Pekerja dan Buruh diwawancarai media, Rabu (21/5/2025). (Foto: Istimewa)
Koordinator Jamsos Pekerja dan Buruh diwawancarai media, Rabu (21/5/2025). (Foto: Istimewa)

JAKARTA — Rencana pemerintah untuk menghapus sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam layanan rawat inap Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan menggantinya dengan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) satu kelas menuai penolakan dari kalangan pekerja dan buruh.

Forum Jaminan Sosial (Jamsos) Pekerja dan Buruh, yang terdiri atas lintas serikat pekerja tingkat nasional, menyatakan keberatan terhadap kebijakan yang akan mulai diterapkan pada 1 Juli 2025 itu.

Mereka menilai penerapan KRIS satu ruang perawatan dapat menurunkan kualitas layanan kesehatan bagi peserta JKN, khususnya pekerja dan buruh yang selama ini telah membayar iuran dalam jumlah signifikan.

“Tidak pernah ada keluhan dari pekerja terkait kelas rawat inap 1, 2, dan 3. Saat ini pekerja atau buruh memiliki hak pelayanan rawat inap di kelas 1 atau 2, dengan jumlah tempat tidur antara satu sampai tiga. Bila nanti diturunkan menjadi empat tempat tidur, maka ini akan menurunkan kualitas layanan kepada pekerja dan keluarganya,” tegas Koordinator Forum Jamsos Pekerja dan Buruh, Jusuf Rizal, dalam kegiatan Forum Jaminan Sosial yang digelar Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Rabu (21/5/2025).

Forum Jamsos juga menyoroti absennya pelibatan pekerja dalam perumusan kebijakan tersebut.

Menurut mereka, kebijakan ini terkesan diputuskan sepihak dan mengabaikan aspirasi kelompok pekerja yang menjadi salah satu pihak terdampak paling besar.

Selain itu, mereka menilai skema KRIS dan iuran tunggal berisiko mendorong peningkatan pengeluaran pribadi (out of pocket) peserta JKN.

Hal ini dikhawatirkan bisa memperburuk kondisi keuangan peserta dan membebani masyarakat ekonomi bawah.

“Forum Jamsos Pekerja dan Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja menolak KRIS satu ruang perawatan dan sistem iuran tunggal, serta meminta Presiden Prabowo Subianto mengkaji ulang kebijakan jaminan sosial agar tidak menyulitkan pekerja,” tambah Jusuf Rizal.

Penolakan terhadap kebijakan ini juga datang dari Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Tulus Abadi.

Dia menilai KRIS satu kelas justru merugikan peserta JKN, terutama dari sisi pembiayaan.

“Peserta JKN kelas 3 akan mengalami kenaikan iuran. Mereka dipaksa naik ke kelas 2 dan harus merogoh kocek lebih dalam. Ini sangat memberatkan, terutama bagi peserta mandiri dari kelompok ekonomi bawah,” ujar Tulus yang juga dikenal sebagai penggagas Forum Konsumen Indonesia (FKI).

Menanggapi kritik tersebut, Ketua DJSN Nunung Nuryartono menegaskan bahwa pihaknya tetap terbuka terhadap aspirasi masyarakat.

Dia memastikan proses implementasi KRIS masih terus dikaji agar tidak menimbulkan keresahan publik.

“Setiap kebijakan yang dihasilkan diharapkan tidak akan menimbulkan kegaduhan yang tidak kita inginkan. Manfaat yang ada dalam layanan JKN diharapkan tidak turun dan tetap dipertahankan,” kata Nunung.

Senada, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timbul Siregar, juga menyuarakan keprihatinan terhadap kesiapan fasilitas kesehatan dalam mendukung penerapan KRIS.

Dia menyebut, bila hanya ada satu kelas rawat inap sementara tempat tidur rumah sakit masih terbatas, maka peserta JKN bisa kesulitan mendapatkan ruang perawatan.

“Jika salah satu kelas penuh, saat ini pasien bisa dititipkan di kelas di atasnya dan tetap dijamin BPJS. Tapi kalau hanya ada satu kelas dan penuh, mereka mau dititipkan di mana? Jangan sampai mereka malah ditawari jadi pasien umum non-JKN,” ujar Timbul.

Dengan berbagai catatan kritis tersebut, Forum Jamsos Pekerja dan Buruh berharap pemerintah meninjau ulang kebijakan KRIS agar tetap berpihak pada kepentingan rakyat, khususnya pekerja yang telah berkontribusi besar dalam pendanaan program JKN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *