JEMBER – Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Jember, Hanan Kukuh Ratmono, menyoroti pelaksanaan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang digelar Dinas Pendidikan Kabupaten Jember.
Dalam pandangannya, meski secara umum pelaksanaan SPMB telah mengikuti regulasi, namun ada beberapa hal yang perlu diperbaiki.
“Kami mewakili Fraksi Gerindra memberikan apresiasi kepada Dinas Pendidikan yang telah menyelenggarakan SPMB sesuai dengan regulasi yang ada sebaik mungkin. Tapi kami juga menyadari, melihat yang dilakukan oleh dinas belum maksimal, atau ada beberapa hal yang harus diperbaiki ke depannya,” katanya.
Salah satu persoalan utama, menurut Hanan, adalah kurangnya pemetaan kebutuhan sekolah sebelum pelaksanaan SPMB.
Dia mencontohkan adanya sekolah-sekolah yang seharusnya mendapatkan tambahan kuota kelas, namun tidak dilakukan karena tidak ada perencanaan dari awal.
“Termasuk misalnya ternyata muncul sekolah yang sebenarnya kuotanya harus ditambah. Akhirnya ketika kemarin ada proses SPMB ini, banyak yang tertolak. Dan yang tertolak bisa satu kelas lebih. Ini hal yang harus direncanakan dari awal sebelum proses SPMB,” ujarnya.
Dia menegaskan, pembukaan kelas baru tidak bisa dilakukan mendadak saat proses SPMB sudah berjalan dan harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan SPMB.
“Karena sesuai regulasi tidak mungkin pada saat SPMB membuka kelas baru. Karena aturannya tidak boleh. Seharusnya setahun sebelumnya atau beberapa bulan sudah dipetakan, sekolah ini idealnya sudah harus nambah kelas,” bebernya.
Selain soal regulasi, Hanan juga menyinggung ketimpangan minat masyarakat terhadap sekolah-sekolah tertentu, khususnya SMP Negeri 1, 2, dan 3 di wilayah kota.
Menurutnya, fenomena ini menunjukkan kurangnya dinas dalam menjalankan fungsi pemerataan.
“Misalkan SMP 1 ini kuotanya mana, kotanya berapa, dari awal itu harus direncanakan secara betul. Saya melihat dinas ini lupa dengan perencanaan di awal. Misalkan SMP 1 kuotanya harus sekian, dengan jumlah penduduk yang sekian, yang di-cover oleh mereka. Akhirnya ketika SPMB berjalan itu tidak ada penolakan,” tandasnya.
Lebih lanjut, Hanan juga menyoroti penerapan sistem zonasi, afirmasi, dan jalur prestasi yang menurutnya juga tidak dibarengi dengan pemetaan yang baik.
“Tiga hal yang kemarin menjadi regulasi itu kan afirmasi, prestasi, dan terakhir zonasi. Itu dari awal harus dipetakan. SMP 1 harusnya total kelas yang dibuka sekian, SMP 2 sekian, SMP 3 sekian, demikian seterusnya,” imbuhnya.
Terkait dominasi minat masyarakat terhadap SMP 1, 2, dan 3, Hanan menyebut hal itu sebagai dampak dari persepsi kualitas sekolah yang belum merata.
Dia menyebut bahwa masih banyak wali murid yang pesimis terhadap mutu sekolah-sekolah di pinggiran.
“Mungkin wali murid itu merasa sudah melihat bahwa SMP 1, 2, 3 kualitasnya baik. Dia merasa pesimis terhadap SMP lain. Sebenarnya pemerintah meminta semua sekolah itu setara kualitasnya dan kurikulum yang sama, dari awal proses SPMB kan diarahkan ke sana. Cuman secara psikologis mungkin terbalik,” jelasnya.
Hanan menyarankan agar Dinas Pendidikan memperkuat sosialisasi dan mengambil langkah nyata dalam pemerataan kualitas pendidikan, bukan hanya dari segi regulasi, tetapi juga pada tingkat implementasi.
“Harusnya pemerintahnya tegas terkait hal yang dibuat aturan, harus tegas. Aturannya begini, ya harus begini,” tukasnya.
Ketika ditanya soal kurangnya sosialisasi dari sekolah-sekolah yang tidak diminati, Hanan mengakui bahwa hal tersebut bisa menjadi salah satu penyebab.
Namun, dia juga menekankan bahwa masyarakat kini sudah lebih cerdas dalam menilai mutu pendidikan secara mandiri.
“Saya rasa sosialisasi mungkin kurang, tapi masyarakat sudah agak pintar juga. Dia juga melihat sekitarnya, bahwa sekolah ini seperti ini, sekolah itu seperti itu. Kita tidak bisa menutup mata itu masih ada. Dan tugasnya dinas memang memperbaiki agar semua setara sama,” pungkasnya.