Pak Hos Nyaruki, Pembuat Arang Kayu di Mumbulsari Jember yang Tak Lekang oleh Zaman

Pak Hos Nyaruki tengah menyiapkan arang pesanan di halaman rumahnya. (Foto: Zainul Hasan/ZonaIndonesia.co.id)
Pak Hos Nyaruki tengah menyiapkan arang pesanan di halaman rumahnya. (Foto: Zainul Hasan/ZonaIndonesia.co.id)

JEMBER – Di tengah derasnya arus modernisasi yang mengubah wajah desa menjadi lebih digital dan industrial, masih ada sosok yang setia menekuni pekerjaan tradisional dengan sepenuh hati.

Dialah Pak Hos Nyaruki, seorang pembuat arang kayu dari Dusun Curahlaos, Desa Lampeji, Kecamatan Mumbulsari, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Meski zaman telah berubah, semangat dan dedikasinya terhadap profesi yang telah digelutinya sejak muda itu tak pernah surut.

Pak Hos adalah representasi dari generasi yang tumbuh bersama dengan aroma kayu terbakar, suara bara menyala, dan kehangatan lobang tradisional.

Di usia yang tidak lagi muda, ia tetap bekerja setiap hari di halaman rumahnya yang telah bertransformasi menjadi dapur arang.

Dari tempat sederhana itulah, ribuan karung arang telah lahir dan menyebar ke berbagai penjuru wilayah di Jember.

Pelanggannya pun beragam, dari penjual sate rumahan yang membutuhkan arang berkualitas untuk membakar dagangan, hingga gudang penyimpanan arang skala besar.

Produksi arang dilakukan secara mandiri. Pak Hos membeli kayu dari tetangga sekitar, mengolahnya sendiri, lalu membakarnya hingga menjadi arang yang siap pakai.

Jenis kayu yang digunakan pun beragam, menentukan kualitas dan harga jual arang per karung.

Setiap karung arang dijual dengan harga bervariasi, berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp70 ribu tergantung jenis kayu yang digunakan.

Semakin keras dan padat jenis kayunya, biasanya harga arang akan lebih tinggi karena daya tahan apinya lebih lama.

Proses produksinya tidak bisa diprediksi secara pasti.

Ketika permintaan sedang sepi, Pak Hos hanya mampu memproduksi sekitar lima karung per hari.

Namun, ketika permintaan membludak, ia harus mengandalkan pasokan kayu tambahan bahkan mengambil stok dari para tetangga untuk memenuhi pesanan.

“Setiap hari pasti membuat arang. Kalau belum ada yang memesan, arang itu saya jajakan,” ujarnya dengan semangat, Jumat (13/6/2025).

Dulu, ketika teknologi belum menyentuh desa, Pak Hos mengandalkan sepeda ontel untuk mengantar arang ke pelanggan.

Ia menempuh jarak yang tidak pendek, bahkan sampai ke wilayah Jenggawah, Ajung, hingga Ambulu.

Hubungan dengan pelanggan pun dijalin secara langsung, bertatap muka, dengan komunikasi sederhana yang hangat.

Namun sejak era 2010-an, seiring dengan merebaknya telepon genggam dan kendaraan bermotor, cara berjualannya pun perlahan ikut beradaptasi.

Kini ia menggunakan sepeda motor butut untuk mengantarkan arang, dan pelanggan bisa memesan hanya dengan menelepon.

Walau teknologi telah masuk, sentuhan tradisional dalam usahanya tetap dijaga.

Tidak ada media sosial, tidak ada sistem pemesanan daring, semua masih dilakukan secara konvensional namun penuh kepercayaan.

Pelanggan mengenal kualitas arang buatan Pak Hos, dan itulah yang membuat mereka tetap loyal meski banyak pilihan lain di pasaran.

Belakangan, Pak Hos tidak sendirian lagi dalam mengelola usaha rumahan ini.

Ia kini dibantu oleh anaknya, Sumiati, menantunya, serta cucunya yang mulai belajar proses pembuatan arang dari awal.

Dengan begitu, keahlian dan tradisi ini tidak akan padam begitu saja, tetapi diteruskan ke generasi berikutnya.

Pak Hos Nyaruki bukan hanya seorang pembuat arang.

Ia adalah penjaga warisan tradisi, simbol ketekunan, dan inspirasi bagi mereka yang percaya bahwa nilai kerja keras, kejujuran, dan kesederhanaan tak akan lekang oleh waktu.

Di tengah asap yang mengepul setiap hari dari lobang arangnya, tersimpan kisah tentang keteguhan hati, keluarga, dan harapan yang tetap menyala, seperti bara arang yang perlahan tapi pasti memberi kehangatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *