SITUBONDO – Kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Situbondo yang merumahkan sekitar 600 tenaga honorer menuai sorotan tajam dari anggota DPRD Kabupaten Situbondo, Yogi Pratama.
Legislator dari Partai Demokrat ini menyebut bahwa keputusan tersebut memang tidak populer, namun merupakan langkah yang harus diambil.
Meski begitu, Yogi menekankan agar Pemkab tidak lantas lepas tangan terhadap nasib para honorer yang terdampak.
“Jangan sampai pemerintah daerah itu lepas tangan,” ujar Yogi Pratama melalui sambungan telepon kepada Jurnalis zonaindonesia.co.id, Jumat (2/5/2025).
Menurut Yogi, pemerintah daerah harus hadir memberikan solusi konkret dan realistis bagi para honorer yang terpaksa dirumahkan.
Dia mengingatkan bahwa tanpa kebijakan lanjutan yang berpihak pada para mantan tenaga honorer ini, maka akan timbul masalah baru yang tidak kalah serius.
“Kalau tidak ada solusi dari pemerintah daerah, maka akan menambah angka pengangguran terbuka di Kabupaten Situbondo,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yogi menyampaikan bahwa Dia memahami keputusan itu merupakan tindak lanjut dari regulasi pemerintah pusat, khususnya Surat Menteri PANRB Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022 tanggal 31 Mei 2022.
Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa tenaga Non ASN yang masa kerjanya belum dua tahun harus dilepas atau dirumahkan.
Namun demikian, Yogi berharap Pemkab Situbondo tidak hanya fokus pada kepatuhan administratif, tetapi juga memikirkan dampak sosial yang ditimbulkan.
“Kami melihat, untuk yang di bawah dua tahun, memang satu-satunya cara adalah dirumahkan. Tapi pemerintah daerah ini jangan hanya berpikir masalah tenaga honorer, tetapi ini harus segera dicarikan solusi agar tidak menambah angka pengangguran,” katanya menegaskan.
Selain membela tenaga honorer, Yogi juga menyinggung nasib ribuan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu yang menurutnya masih belum memperoleh hak yang layak.
Untuk itu, Dia mendorong agar pemerintah daerah mengambil peran aktif dalam memperjuangkan mereka.
“Karena secara aturan mereka ini memenuhi, cuman dikembalikan ke pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan keuangan pemerintah daerah,” ujarnya.
Perjuangan Bupati Terbentur Aturan
Sebelumnya, Bupati Situbondo, Yusuf Rio Wahyu Prayogo, telah mengumumkan secara resmi kebijakan perumahan tenaga honorer ini saat memimpin apel pagi di halaman belakang Kantor Pemkab Situbondo pada Senin, 28 April 2025.
Dalam kesempatan tersebut, Dia menyampaikan bahwa keputusan ini diambil dengan penuh pertimbangan dan setelah melalui berbagai upaya lobi ke pemerintah pusat dan provinsi.
“Keputusan ini dilakukan dengan berat hati setelah berbagai upaya untuk mempertahankan para tenaga non-ASN tidak membuahkan hasil. Kita sudah berjuang ke Jakarta, ke provinsi untuk mempertahankan mereka. Anggaran untuk mereka sudah ada, tapi kalau itu dibayarkan nanti akan jadi temuan BPK,” ujar pria yang akrab disapa Mas Rio itu.
Bupati Situbondo juga menyampaikan permohonan maaf secara terbuka karena perjuangan mempertahankan ratusan tenaga Non ASN tersebut tidak membuahkan hasil.
Dia menekankan bahwa keputusan ini semata-mata untuk menghindari pelanggaran regulasi yang dapat menimbulkan permasalahan hukum bagi pemerintah daerah.
“Berdasarkan Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022, tertanggal 31 Mei 2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka saya meminta maaf, perjuangannya tidak berhasil. Dalam surat tersebut tertulis Non ASN yang belum dua tahun harus dilepaskan atau dirumahkan,” jelasnya.
Mas Rio juga merinci bahwa dari total 600 tenaga Non ASN yang dirumahkan, terdiri dari sekitar 300 guru, 200 tenaga teknis, dan sisanya dari berbagai perangkat daerah.
Dia mengakui bahwa kualitas sumber daya manusia yang harus dirumahkan itu sangat baik.
“Kualitas sumber daya manusia yang dirumahkan sangat baik, hal ini sangat disayangkan,” tegasnya.
Sekda: Anggaran Ada, Tapi Tak Bisa!
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Situbondo, Wawan Setiawan, membenarkan bahwa secara anggaran Pemkab sebenarnya sudah menyediakan dana untuk pembayaran honor para pegawai Non ASN yang dirumahkan.
Namun, menurutnya, tanpa dasar hukum yang sah, pembayaran tersebut tidak dapat dilakukan.
“Karena tidak ada dasar, bahkan tali asih pun tidak diperkenankan, maka kalau dibayarkan itu justru kita salah. Sebagaimana disampaikan Pak Bupati bahwa uangnya sudah ada, tetapi karena dasarnya tidak ada, itu yang terjadi seperti itu,” pungkasnya.
Kondisi ini menunjukkan dilema antara regulasi administratif dan sisi kemanusiaan yang tengah dihadapi oleh Pemkab Situbondo.
Meski secara administratif mereka mematuhi perintah pusat, namun secara sosial dan politis, tekanan dari publik dan legislatif akan terus menguat jika tidak disertai kebijakan lanjutan yang berpihak pada para korban kebijakan ini.