Menguak Efek Domino Trump di Kinerja Stabilitas Nilai Tukar dan Swasembada Barang

ZONAINDONESIA.CO.ID – Ketika Donald Trump mencetuskan slogan America First, dampaknya tak hanya terasa di dalam negeri Amerika Serikat. Kebijakan proteksionisme yang ia dorong selama masa pemerintahan perang dagang dengan Cina saat ini, penarikan diri dari kerja sama multilateral, dan keluarnya kebijakan tarif Trump mengubah arah arus perdagangan dan investasi dunia.

Dan pada masa pemerintahannya saat ini sangat mengusik dan jejaknya masih menghantui. Banyak negara, termasuk Indonesia, kini menghadapi tantangan ekonomi yang sebagian merupakan efek domino dari kebijakan tarif Trump. Di tengah penguatan dolar AS dan volatilitas geopolitik global, stabilitas nilai tukar rupiah goyah.

Sementara itu, di sektor pangan dan industri dasar, swasembada masih lebih sering menjadi jargon politik daripada realita ekonomi.

Sejak awal 2025, nilai tukar rupiah terus menunjukkan tren pelemahan. Pada awal April 2025, rupiah menyentuh angka Rp17.051 per dolar AS angka psikologis yang membuat pasar keuangan gelisah.

Ada beberapa faktor yang mengakibatkan nilai rupiah melemah, pertama efek kebijakan tarif Trump, di Indonesia diberi tarif impor sebesar 32 persen dan hingga saat ini kabarnya Indonesia akan dikenakan tarif sebesar 47 persen yang membuat di negeri kita dapat memperlambat arus produk ekspor ke AS, menyebabkan penduduk AS memilih produk lokal dibanding produk Indonesia.

Kedua, penyebab dari suku bunga tinggi the fed mengakibatkan mata uang rupiah tertekan. Ketiga, berdampkan pada properti di Indonesia dari tarif impor 32 persen, sektor properti ini sangat bergantung pada sektor ekonomi suatu negara. Apabila ekonomi menurun, maka sektor properti juga bisa ikut menurun.

Bank Indonesia memang telah melakukan intervensi, baik dengan menjaga suku bunga di 5,75 persen maupun menyuntikkan likuiditas ke pasar valas. Tapi kenyataannya, BI hanya bermain di permukaan. Masalah utama ada pada persepsi fundamental ekonomi kita yang dianggap rapuh.

Di saat tekanan nilai tukar semakin kuat, Indonesia seharusnya bisa mengandalkan kekuatan produksi dalam negeri terutama pada sektor pangan. Pemerintah menargetkan swasembada untuk empat komoditas utama yaitu beras, gula, jagung, dan garam. Alasannya masuk akal, yaitu untuk menghemat devisa dan memperkuat ketahanan pangan nasional.

Namun sayangnya, data menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap impor masih tinggi. Petani lokal masih kesulitan mendapat pupuk bersubsidi. Teknologi pertanian belum merata. Dan infrastruktur distribusi tetap mahal. Akibatnya? Harga domestik tidak kompetitif, dan impor tetap mengalir masuk.
Indonesia sedang menjalankan kebijakan ekonomi populis yang tidak dibarengi dengan reformasi struktural.

Program-program sosial berskala masif yang seharusnya jadi jaring pengaman sosial malah menjadi beban fiskal jika tak dikelola dengan efisien. Di sisi lain, visi besar seperti swasembada tidak akan berhasil jika eksekusinya setengah hati. Investasi sektor pertanian dan industri pengolahan masih kalah dari sektor jasa dan konsumsi.

Padahal di tengah tekanan eksternal seperti efek domino kebijakan Trump, hanya ketahanan produksi domestik yang bisa melindungi ekonomi nasional. Jika ingin benar-benar tangguh, Indonesia harus berhenti bergantung pada fluktuasi global.

Beberapa langkah yang harus Indonesi segera diambil sebagai bentuk strategi dan pertahanan di saat ini. Pertama, diversifikasi mitra dagang agar tak tergantung pada pasar besar seperti AS atau Cina. Kedua, Penguatan sektor riil, khususnya pertanian dan manufaktur olahan berbasis bahan lokal.

Ketiga, Transparansi fiskal dan reformasi anggaran, supaya investor percaya dan rupiah stabil. Keempat, Investasi teknologi dan riset pertanian agar swasembada tak hanya jadi visi, tapi kenyataan.

Efek kebijakan Trump adalah pengingat bahwa Indonesia belum cukup mandiri. Ketika negara lain mengencangkan sabuk proteksionisme, kita tidak bisa terus mengandalkan konsumsi dan impor.

Penulis: Moh. Raihan Nur Islami, Mahasiswa Fakultas Ekonomi Pembangunan UMM (Universitas Muhammadiyah Malang)