Cancel culture di Indonesia bukan sekadar tren sesaat di media sosial, melainkan cermin yang memantulkan cara masyarakat memaknai moralitas, kuasa, dan keadilan di era digital. Ia memperlihatkan bahwa publik bukan hanya ingin didengar, tetapi juga haus akan penghakiman kolektif—dorongan untuk “mengadili” seseorang secara ramai-ramai, sering kali tanpa proses yang berimbang.
Cancel Culture sebagai Gejala Zaman
Fenomena cancel culture di Indonesia menguat seiring meluasnya penggunaan media sosial yang menjadikan platform digital sebagai ruang utama ekspresi dan kontrol sosial. Kajian literatur tentang cancel culture di Indonesia menunjukkan bahwa gerakan ini masih relatif baru, sangat lekat dengan Twitter/X, Instagram, dan TikTok, serta paling sering menimpa figur publik seperti selebritas dan influencer.
Melalui tagar, boikot, dan seruan “unfollow,” publik dapat dengan cepat menarik dukungan dari sosok yang dianggap melanggar norma moral, sosial, atau politik. Di satu sisi, ini memunculkan rasa bahwa masyarakat akhirnya memiliki sarana untuk menuntut pertanggungjawaban, bukan hanya pasif di hadapan kekuasaan.
Contoh kasus seperti diberitakan wolipop.detik.com (05/07/2022) dialami oleh aktor Korea Selatan, Kim Seon Ho, pada tahun 2021 silam, adalah studi kasus paling menggetarkan tentang bahaya yang melekat pada budaya ini. Hanya berdasarkan tuduhan anonim dari mantan pasangannya mengenai pemaksaan aborsi, dunia Kim Seon Ho runtuh dalam hitungan jam. Gelombang kebencian (cancel) yang menyerbu media sosialnya, para penggemar berbalik, dan yang paling parah, banyak brand dan produksi film segera memutuskan kontrak sebelum ada penyelidikan atau konfirmasi faktual yang kredensial.
Sama seperti Kim Seon Ho, pada pertengahan tahun 2022, Nam Joo Hyuk, yang saat itu berada di puncak popularitas pasca drama Twenty Five, Twenty One, menjadi subjek tuduhan bullying (perundungan) di sekolah yang disampaikan oleh beberapa informan anonim. Media dan warganet bergerak instan. Meskipun agensinya segera membantah tuduhan tersebut, kecepatan respons publik tak tertandingi.
Dalam sekejap, seperti dilansir dari coppamagz.com (26/10/2021) aktor tersebut seolah-olah telah “divonis bersalah” oleh media sosial. Dampaknya sangat nyata: nama baiknya tercoreng parah, dan proyek-proyeknya yang akan datang diragukan. Ia mengalami kerugian reputasi yang signifikan, bahkan ada seruan untuk memboikot seluruh karya yang ia bintangi.
Kasus mantan anggota girl group K-pop LE SSERAFIM, Kim Garam, pada tahun 2022 adalah contoh tragis bagaimana budaya ini dapat merusak kehidupan seseorang sebelum fakta sepenuhnya terungkap. Kim Garam terlibat dalam kontroversi bullying tak lama setelah debutnya.
Tuduhan mengenai perundungan di sekolah segera menyebar luas melalui komunitas daring yakni Twitter/X dan TikTok, disertai dengan bukti seperti dokumen Komite Kekerasan Sekolah. Berdasarkan sumber berita dari kapanlagi.com (20/07/2022) Ia mendapat banyak kritikan pedas dari netizen sehingga kontroversi tersebut memaksakan Kim Garam mengambil masa hiatus sementara dan akhirnya ia keluar dari LE SSERAFIM hanya beberapa bulan setelah debut, secara efektif ia mengakhiri karirnya di grup tersebut.
Contoh kasus yang pernah menimpa Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas). Saat itu, sebuah video yang memperlihatkan Zulhas mengumpulkan sisa makanan rapat untuk dibagikan agar tidak mubazir, beredar luas. Namun, ketika video itu disebarkan dengan caption provokatif, publik menilai seolah-olah tindakan menteri tersebut dilakukan karena alasan lain, sehingga menimbulkan disinformasi.
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, Firman Kurniawan, menegaskan bahwa di era digital, setiap konten membawa dampak yang melampaui ranah personal. Ia mengingatkan bahwa komunikasi di media sosial bekerja secara cepat dan berantai (virality), sehingga pembuat konten harus selalu mindful dan berhati-hati, seperti diberitakan beritasatu.com (1/12/2025).
Solusi yang Dapat Dilakukan
Untuk memastikan cancel culture beroperasi sebagai mekanisme akuntabilitas yang bertanggung jawab, bukan sebagai lynching modern, kita harus mengadopsi prinsip berikut:
- Terapkan Jeda Verifikasi Ketat (Verification Gap)
Media menahan diri untuk tidak merilis atau menyebar ulang tuduhan anonim yang sensitif (seperti pelecehan, kriminalitas) setidaknya selama 24-48 jam. Hal tersebut dapat memberikan waktu kepada pihak yang dituduh untuk menyusun respons dan bukti awal, mencegah trial by media.
- Think Before You Click/Share
Warganet harus menanyakan diri sendiri: “Apakah saya menyebar spekulasi atau fakta?” dan “Apakah saya akan bertanggung jawab jika ini terbukti palsu?”. Hal ini dapat memutuskan rantai penyebaran informasi yang belum terverifikasi dan mengurangi momentum penghakiman massal.
- Memisahkan Hukuman Sosial dari Hukum
Masyarakat harus menyadari bahwa hukuman sosial (cancel culture) bukanlah substitusi untuk proses hukum. Kritikan diizinkan, tetapi pemboikotan total harus dipertimbangkan setelah putusan resmi.
- Mengutamakan Bukti Atas Emosi
Masyarakat harus didorong untuk mencari bukti (bukan sekedar tangkapan layar anonim) dan kesaksian berimbang sebelum mengambil posisi, agar masyarakat mengubah fokus dari emosi kolektif yang marah menjadi penyelidikan berbasis fakta. Kasus diatas adalah pelajaran berharga—kepercayaan publik adalah aset berharga, tetapi jika kepercayaan itu didasarkan pada rumor, hasilnya adalah kehancuran yang tidak perlu.
Jika kita ingin cancel culture menjadi keadilan bukan lynching modern, kita harus sepakat bahwa kebenaran harus selalu memimpin, dan penghakiman massal tanpa dasar harus dihentikan. Berikan kesempatan pada keberanian, bukan pada kebisingan.
Penulis: Zazkia Farah Dilla Fitri Arvi, Mahasiswi FIKKIA Prodi Kedokteran Umum Universitas Airlangga












