Di tengah geliat pembangunan nasional, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi cermin ketimpangan arah ekonomi Indonesia.
Wilayah yang kaya potensi ini dari energi terbarukan hingga pariwisata alam masih sulit menarik investasi asing langsung (FDI).
Menurut data BKPM, kontribusi NTT terhadap total FDI nasional dalam lima tahun terakhir tidak mencapai satu persen.
Fenomena ini menandakan bahwa pembangunan ekonomi kita belum sepenuhnya berpihak pada daerah yang jauh dari pusat pertumbuhan.
Dalam teori Eclectic Paradigm Dunning (1988), keputusan investor ditentukan oleh tiga faktor: kepemilikan, lokasi, dan internalisasi.
Dari ketiganya, keunggulan lokasi menjadi masalah utama bagi NTT.
Infrastruktur dasar belum memadai, biaya logistik tinggi, dan birokrasi sering kali berbelit.
Namun, akar persoalan tidak berhenti di sana.
Arah pembangunan kita cenderung berorientasi pada pertumbuhan angka, bukan penguatan fondasi manusia dan kelembagaan daerah.
Seperti dikatakan North (1990), institusi yang lemah akan mengekang potensi ekonomi, betapa pun kayanya sumber daya yang dimiliki.
Pemerintah sering mengampanyekan pemerataan pembangunan, tetapi logika investasi nasional masih berwatak “efisiensi,” bukan “keadilan.”
Modal bergerak ke daerah yang sudah siap, sementara wilayah seperti NTT hanya menunggu limpahan kebijakan tanpa kapasitas yang memadai.
Di sinilah paradoks pembangunan itu lahir: daerah miskin tetap miskin karena tidak dipercaya mampu tumbuh.
Namun, harapan belum padam. NTT bisa menjadi contoh baru bagaimana investasi dibangun bukan hanya dengan modal finansial, melainkan juga modal sosial.
Pemerintah daerah perlu memperkuat kepercayaan publik, mempercepat reformasi birokrasi, dan mengarahkan investasi ke sektor yang bermakna bagi masyarakat energi bersih, pertanian, dan pariwisata berkelanjutan.
Dalam pandangan Romer (1994), pembangunan sejati tumbuh dari kreativitas lokal, bukan dari kebijakan yang datang dari atas.
Investasi asing seharusnya tidak hanya datang karena peluang untung, tetapi karena keyakinan bahwa NTT adalah tempat di mana modal dan manusia bisa tumbuh bersama.
Jika arah pembangunan nasional mulai berpihak pada daerah seperti ini, maka Indonesia tidak hanya akan tumbuh tetapi juga tumbuh dengan adil.
Penulis: Muhammd Diego Saputra
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Malang

							










