ZONAINDONESIA.CO.ID – Pembangunan ekonomi Indonesia kini menghadapi titik krusial: bagaimana mencapai pertumbuhan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Salah satu sektor yang menjadi fokus utama adalah pertanian, terutama di kawasan agropolitan seperti Kabupaten Batu, Jawa Timur.
Selama beberapa dekade, Batu dikenal sebagai wilayah yang makmur berkat pertanian. Namun, dalam lima tahun terakhir, sektor ini mulai menghadapi tantangan besar mulai dari penyusutan lahan produktif, dampak perubahan iklim, hingga tuntutan global terhadap praktik pertanian berwawasan lingkungan.
Secara konseptual, gagasan green economy merujuk pada pandangan Todaro & Smith (2015) bahwa pembangunan sejati tidak sekadar menambah Produk Domestik Bruto (PDB), melainkan meningkatkan kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.
Sementara itu, Schumpeter (1942) berpendapat bahwa inovasi dan transformasi struktural adalah penggerak utama pembangunan ekonomi. Dalam konteks pertanian, inovasi bukan hanya tentang teknologi baru, tetapi juga tentang perubahan pola pikir dari sekadar mengejar kuantitas hasil menjadi produksi yang ramah lingkungan dan memiliki nilai tambah tinggi.
Meskipun Indonesia telah mengintegrasikan prinsip ekonomi hijau dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pelaksanaannya di lapangan masih belum merata. Di daerah seperti Batu, konsep ini baru diwujudkan melalui inisiatif seperti pertanian organik dan agrowisata, namun belum menyentuh perubahan menyeluruh pada sistem produksi dan rantai pasok.
Menurut data dari Antara Jatim dan Radar Batu (2024), total produksi hortikultura di Kota Batu mencapai lebih dari 70 ribu ton per tahun, dengan komoditas unggulan seperti sawi, wortel, dan tomat. Namun, di balik capaian tersebut, terdapat tantangan serius: luas lahan pertanian menurun dari 41.925 hektare (2023) menjadi 38.972 hektare (2024).
Ironisnya, jumlah petani justru meningkat dari 18.408 menjadi sekitar 19.000 orang. Kondisi ini menunjukkan adanya tekanan terhadap sumber daya lahan yang terbatas dan risiko penurunan produktivitas di masa depan.
Lebih dari 89% petani di Batu tergolong petani gurem dengan luas lahan di bawah 0,5 hektare (MalangTimes, 2023). Mereka menghadapi hambatan dalam akses modal, teknologi, dan pasar hijau yang menuntut standar tinggi serta sertifikasi.
Mengacu pada teori Lewis Dual Sector Model, kondisi ini menggambarkan kesenjangan antara sektor pertanian tradisional yang stagnan dengan sektor modern yang tumbuh pesat. Jika tidak ada kebijakan yang berpihak, maka transformasi menuju ekonomi hijau hanya akan menguntungkan kelompok modal besar, sementara petani kecil tertinggal.
Transformasi pertanian menuju green economy tidak bisa hanya dimaknai sebagai peralihan dari pupuk kimia ke pupuk organik. Lebih dari itu, diperlukan ekosistem baru yang menghubungkan petani, pemerintah, akademisi, dan pelaku pasar secara terpadu.
Ada tiga langkah strategis yang dapat menjadi fondasi perubahan tersebut:
1. Penguatan Kelembagaan Kolektif
Petani gurem di Batu perlu dihimpun dalam koperasi hijau agar memiliki daya tawar dalam hal pembiayaan, akses pasar, dan sertifikasi produk. Pendekatan ini sejalan dengan teori collective efficiency (Schmitz, 1995) yang menekankan pentingnya kerja sama antar pelaku ekonomi lokal untuk meningkatkan daya saing.
2. Penerapan Teknologi Hijau dan Digitalisasi
Pemanfaatan teknologi seperti Internet of Things (IoT), sistem irigasi cerdas (smart irrigation), serta platform pemasaran digital dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi produksi. Dengan demikian, petani dapat menjadi bagian dari rantai nilai modern, bukan sekadar produsen primer.
3. Integrasi Pertanian dan Pariwisata Berkelanjutan
Sebagai daerah wisata dengan ikon petik apel, Batu memiliki potensi besar mengembangkan green tourism. Integrasi antara pertanian organik dan ekowisata tidak hanya meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga mengedukasi masyarakat tentang pentingnya praktik pertanian berkelanjutan.
Transformasi pertanian di Batu mencerminkan kondisi nasional: Indonesia memiliki sumber daya melimpah, namun kerap terjebak dalam paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan.
Jika prinsip ekonomi hijau tidak segera diterapkan secara konsisten dan menyeluruh, sektor pertanian yang menyerap lebih dari 27% tenaga kerja akan menghadapi risiko besar akibat perubahan iklim dan ketimpangan struktural.
Dalam kerangka Rostow’s Stages of Growth, Indonesia sebenarnya telah melewati tahap take-off, namun belum sepenuhnya mencapai tahap drive to maturity karena masih bergantung pada sektor tradisional yang belum bertransformasi. Penerapan ekonomi hijau yang berbasis data, berkeadilan, dan kolaboratif dapat menjadi jembatan menuju tahap pembangunan yang matang dan berkelanjutan.
Transformasi pertanian menuju ekonomi hijau di Kabupaten Batu menjadi cermin penting bagi arah pembangunan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh dicapai dengan mengorbankan keberlanjutan ekologi dan keadilan sosial.
Petani harus menjadi aktor utama, bukan sekadar penerima kebijakan. Dengan dukungan teknologi tepat guna, kelembagaan yang kuat, dan kebijakan yang berpihak pada petani kecil, Batu dapat menjadi contoh nyata bagaimana pertanian hijau bukan sekadar wacana, tetapi masa depan yang dapat diwujudkan bersama.
Penulis: Nabilah Nuriyatul Jannah
Prodi Ekonomi Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Malang












